Nama : Moh Ajuk Alif Furqon
Kelas : Ilmu Komunikasi A
NIM : 201610040311041
A : Toleransi
B : Teknologi
C : Pendidikan
D : Lelucon Sakdiyah Ma’ruf
Pokok Paragraf:
1. Fenomena toleransi Indonesia
2. Toleransi 3 bidang
3. Perkembangan toleransi di jaman teknologi
4. Kadar toleransi orang berpendidikan dan tidak berpendidikan
5. Lelucon sakdiyah Ma’ruf
6. Lelucon sebagai media menumbuhkan toleransi yang berpendidikan
7.Simpulan : Perubahan perspektif dalam hal toleransi masyarakat barat terhadap Islam
“The highest result of education is tolerance” – Helen Keller
“Hasil tertinggi dari pendidikan adalah toleransi”. Variasi budaya, suku, agama dan bahasa di Indonesia mengakibatkan adanya tuntutan toleransi yang tinggi di sesama masyarakatnya. Tak periu diragukan lagi jika berbagai macam orang dapat hidup menjadi satu di tanah air, Indonesia. Dapat kita lihat contoh nyata yang ada di Kawangkoan, Sulawesi Utara. Disana terdapat destinasi wisata yang sangat unik dan menggambarkan implementasi toleransi lima agama. 5 rumah ibadah dari 5 agama yang berbeda dapat berjejer dengan rapi dan santun. Semua penganut 5 agama tersebut dapat melakukan ritual peribadatan di Bukit Kasih, Kawangkoan-Sulawesi Utara. (travel.detik.com)
Namun, tak selamanya budaya, agama, suku dan bahasa yang bervariasi mampu menciptakan kehidupan rukun dan sejahtera. Buktinya, saat ini kontroversial agama terlalu dibumbui politik dan menghasilkan ketumpang tindihan yang jelas di depan mata. Sudah biasa dan mainstream jika disini pembahasannya menjadi bahasan politik dicampur dengan agama dan seterusnya atau bahasan yang membahas hak asaasi manusia dan toleransi untuk hidup dan bebas dengan pilihan seksualitas dengan sesama. Benar memang toleransi mengajarkan kita tentang menerima perbedaan pandangan orang lain dan menghormati kehidupan yang mereka pilih. Tapi, kasus-kasus seperti Ahok dan penggerebekan tempat gym esek-esek adalah segelintir bukti bahwa toleransi di bumi pertiwi malah rusak dan tidak karuan.
Toleransi yang rusak berimbas kepada hilangnya prinsip kebhinekaan tunggal ika yang selama ini menjadi faktor pembuktian Indonesia bahwa negara besar dengan keberagaman ini dapat berdiri. Belum lagi dengan hadirnya teknologi merancukan informasi yang berada di masyarakat. Seolah-olah informasi di dunia teknologi melahirkan pemahaman baru tentang toleransi di masyarakat. Paham baru tentang toleransi tersebut perlahan-lahan mengikis toleransi di masyarakat. Masyarakat menjadi aktif untuk berpendapat bahwa yang bersalah itu si A dan si B tapi mereka lupa bahwa apa yang dilakukan justru bukti nyata hilangnya toleransi dan implementasinya. Teknologi membuat semua orang beranggapan bahwa apa yang mereka percaya itu benar dan yang dipercaya orang lain itu salah.
Kehidupan di jaman teknologi saat ini menjadi kehidupan yang sangat multikultural.Teknologi mampu menyebarluaskan kultur secara cepat. Sehingga, tak heran jika pendidikan multicultural harus segera diterapkan. Kadar toleransi orang yang berpendidikan dan tidak berpendidikan jelas berbeda. Salah satu fungsi pendidikan adalah untuk menciptakan cara berpikir yang lebih rasional dan membentuk sikap toleransi. Dengan adanya pendidikan multicultural diharapkan mampu menghasilkan generasi baru yang memiliki pemikiran kritis namun memiliki toleransi tinggi di setiap kultur. Sehingga kadar toleransi generasi berpendidikan multikuktural ini lebih tinggi dibanding generasi sebelumnya. (Jurnal: Ruslan Ibrahim : 2008)
Lelucon Sakdiyah Ma'ruf di TED Ubud (TED.com) menyebutkan bahwa Ia bukanlah komika yang cerdas untuk melucu. Namun, Ia hanya wanita muslimah dengan berbagai steorotype dari masyarakat barat. Sakdiyah menghipnotis audiens untuk turut merasakan betapa sulitnya menjadi seorang muslimah yang ingin tampil beda di publik. Perjuangan untuk berbicara didepan umum dengan topik yang sensitif menjadi bagian yang tak terlupakan dari kehidupannya. Lelucon yang disampaikan terbentuk dari cara memandang Islam dari sudut yang berbeda. Tak bisa dilupakan bahwa audiensnya juga menjadi penentu dari berhasil tidaknya lelucon yang Ia bawakan. Belum lagi audiensnya pun memiliki pengalaman pahit terhadap pemeluk Islam.
Jika audiens dapat menertawai lelucon Sakdiyah. Itu dapat diindikasikan bahwa lelucon adalah salah satu media yang tepat untuk membentuk dan menumbuhkan toleransi di tengah-tengah perbedaan, terutama perbedaan yang sangat kontorversial yakni agama. Toleransi yang terbentuk bukan hasil dari paksaan satu pihak. Namun, toleransi yang terbentuk merupakan hasil dari kesadaran dua belah pihak yang berbeda. Media yang digunakan juga bukan media kekerasan yang memaksa pihak lain. Media yang digunakan adalah media halus yang mendidik.
Selama ini Islam mengajarkan tentang pentingnya toleransi terhadap non muslim. Sayangnya, pemeluk agama itu sering salah mengimplimentasikannya di kehidupan. Toleransi yang salah itu menyebabkan banyak pandangan buruk terhadap islam. Contoh kasusnya peristiwa 911, pemboman Bali dan Jakarta di Indonesia. Itu semua menyebabkan orang-orang barat berpikir bahwa Islam membawa peperangan dan tidak mengenal kedamaian. Namun, saat ini di jaman serba canggihnya teknologi dan banyaknya orang berpendidikan seharusnya kita dapat membentuk perspektif baru masyarakat barat tentang islam dan kedamaiannya. Terlebih lagi kita sebagai negara pemeluk Islam terbesar di dunia seharusnya merepresentasikan negara kita sebagai negara akur dan saling toleransi. Sayangnya, toleransi dinegara ini perlu dipertanyakan dengan adanya kasus Ahok yang penuh drama dan politik di dalamnya. Hal itu memunculkan polemik dari berbagai sisi dan jika dibiarkan polemik itu yang mengkotak-kotakkan kita dari persatuan. Sudah pupus harapan bapak-bapak pendiri bangsa ini karena toleransi yang diharapkannya malah memburuk. Seharusnya kita juga menengok semboyan negara kita. "Bhineka Tunggal Ika, Berbeda-beda tapi tetap satu juga".